Jumat, 23 Maret 2012

naik nya bbm di indonesia


Kenaikan BBM: Mengusung Penderitaan Baru Rakyat Indonesia

Rabu, 21 Maret 2012 09:43 wib
 1  1130
Ilustrasi: okezone
Ilustrasi: okezone
SEJAK 2003, Indonesia mulai mengalami defisit minyak, yaitu tingkat konsumsi terhadap BBM melampaui tingkat produksi. Tahun berikutnya, defisit BBM ini tidak dapat ditutupi lagi dari cadangan nasional, sehingga untuk pertama kalinya pula Indonesia harus menutup kekurangan 176 kbpd dengan mengimpor minyak dari luar negeri. Pada 2010, tercatat produksi minyak Indonesia hanya 986 kbpd, di lain sisi tingkat konsumsi melonjak hingga menembus angka 1,304 kbpd atau defisit 318 kbpd.

Dengan data tersebut, pemerintah melalui lembaga-lembaga terkaitnya makin asyik meningkatkan produksi minyak dengan mendatangkan minyak impor. Pemerintah berpandangan, harga BBM dalam negeri lebih murah daripada harga BBM di pasar internasional karena memperoleh subsidi dari negara. Karena itu, menaikkan harga BBM adalah upaya untuk mengurangi beban anggaran negara.

Rakyat di negeri ini sepertinya memang tidak akan pernah lagi bisa bernafas lega. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak bisa ditawar lagi. Satu April nanti pemerintah sudah akan ketok palu untuk menaikan harga BBM. Dalih untuk menyelamatkan negara karena alokasi anggaran untuk BBM terlalu membebani APBN menjadi senjata andalan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, membatasi BBM bersubsidi, dan mencabut subsidi.

Pemerintah seolah menjadi pahlawan penyelamat anggaran agar tidak defisit. Tetapi mereka tidak melihat, hal ini justru akan membuat beban hidup rakyat ke depan semakin berat. Untuk mengukuhkan posisinya, pemerintah pun mengajukan berbagai alasan yang dirasionalisasikan agar masyarakat sepakat dengan kebijakan pemerintah.

Pertama: harga minyak dunia yang semakin tinggi. Meningkatnya subsidi BBM di APBN selama ini lebih dipengaruhi harga minyak dunia yang berada di atas asumsi APBN. Misalnya yang terjadi pada 2011, subsidi melonjak hebat karena harga rata-rata minyak USD115 per barel, jauh di atas asumsi APBN-P 2011 yakni USD95 per barel.

Kedua, subsidi membebani dan menjadi pemborosan APBN. Jika mau jujur, yang membebani APBN adalah pembayaran utang dan bunganya serta penggunaan APBN yang boros. Contoh, Anggaran Pembayaran Utang tahun 2012 adalah Rp170 triliun (bunga Rp123 triliun dan cicilan pokok utang luar negeri Rp43 triliun).

Ironisnya, tahun 2012 pemerintah terus menambah utang dalam bentuk Surat Utang Negara (SUN) hingga Rp134 triliun dan utang luar negeri Rp54 triliun. Padahal, ada sisa sisa APBN 2010 Rp57,42 triliun ditambah sisa APBN 2011 Rp 39,2 triliun. Untuk apa utang ditambah, tapi ada sisa dan tidak digunakan?

Ketiga, subsidi BBM tidak tepat sasaran sebab premium lebih banyak diminum mobil pribadi milik orang kaya. Itu hanya klaim, tidak tepat dan bertentangan dengan data. Data Susenas 2010 oleh BPS menyebutkan, 65  persen BBM bersubsidi dikonsumsi oleh kalangan menengah bawah dengan pengeluaran per kapita di bawah USD4 dan kalangan miskin dengan pengeluaran per kapita di bawah USD2. Sementara itu, 27 persen digunakan kalangan menengah, enam persen  kalangan menengah atas dan dua persen oleh kalangan kaya.

Data Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas menyebutkan, kuota BBM bersubsidi 2010 sekira 36,51 juta kiloliter (KL), dengan rincian premium 21,46 juta KL, solar 11,25 juta KL dan minyak tanah 3,8 juta KL. Sementara Konsumsi Premium, 40 persen untuk sepeda motor, 53 persen untuk mobil pribadi plat hitam dan tujuh persen untuk angkutan umum. Seandainya 50 persen dari mobil pribadi digunakan untuk kegiatan usaha UMKM maka 74 persen premium bersubsidi dinikmati oleh rakyat menengah bawah.

Liberalisasi Ekonomi


Pemerintah telah berkomitmen menghilangkan secara bertahap subsidi BBM. Penghilangan subsidi BBM itu adalah salah satu kesepakatan dalam pertemuan puncak 21 kepala negara anggota APEC di Honolulu, Hawai, Amerika Serikat dan pertemuan G-20 di Prancis tahun lalu. Inilah alasan sebenarnya kenapa pemerintah terkesan ngotot memaksakan pembatasan BBM bersubsidi April mendatang.

Lebih dari itu, pembatasan BBM bersubsidi merupakan satu bagian integral dari paket kebijakan liberalisasi migas yang menjadi amanat UU No. 22/2001 dan didektekan oleh IMF melalui LoI. Teks UU tersebut menyatakan pentingnya manajemen urusan minyak dan gas sesuai dengan mekanisme pasar (pasal 3). Kebijakan liberalisasi migas itu untuk memberikan peluang bahkan menyerahkan pengelolaan migas dari hulu sampai hilir kepada swasta seperti yang tercantum pada pasal 9, "Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan oleh: badan usaha milik negara; badan usaha milik daerah; koperasi; usaha kecil; badan usaha swasta."

Pembatasan BBM bersubsidi itu untuk meliberalisasi migas di sektor hilir guna memberi jalan bagi swasta asing masuk dalam bisnis eceran migas. Ini adalah rencana lama yang terus tertunda. Menteri ESDM waktu itu, Purnomo Yusgiantoro, menegaskan dalam pernyataan persnya (14/5/2003), "Liberalisasi di sektor minyak dan gas akan membuka ruang bagi para pemain asing untuk ikut andil dalam bisnis eceran bahan bakar minyak."

Selama harga BBM masih disubsidi maka sulit menarik masyarakat untuk membeli BBM jualan SPBU asing itu. Dengan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi masyarakat dipaksa menggunakan pertamax, maka SPBU-SPBU asing tanpa capek-capek bisa langsung kebanjiran konsumen. Dengan begitu, maka puluhan perusahaan yang telah mendapat izin bisa segera ramai-ramai membuka SPBU-SPBU mereka. Semua itu pintunya adalah kebijakan pembatasan BBM bersubsidi! Dengan demikian yang paling besar diuntungkan dari kebijakan itu adalah swasta dan asing pengecer migas. Sebaliknya yang dirugikan jelas adalah rakyat!!

Jika kita mau sedikit objektif melihat fakta, inilah buah diterapkannya sistem pemerintahan demokrasi-kapitalisme yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk memiliki kekayaan SDA sekali pun itu menguasai hajat hidup orang banyak.
Liberal. Padahal dulu Rasulullah mengambil kembali tambang garam yang telah diberikan kepada Abyad bin Hammal karena tambang itu sangat melimpah. Apalagi minyak bumi -BBM-, Rasulullah sudah menyatakannya dengan jelas dalam hadits, "Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." [HR Ahmad, Abu Dawud, An Nasaaiy, dll).
Kata an-nâr (api) mencakup semua jenis energi yang disebutkan di atas. Negara secara syar’i dituntut untuk mengeksplorasi energi itu dan mendistribusikannya kepada rakyat. Jika negara menjualnya, negara harus mendistribusikan keuntungan hasil penjualannya kepada rakyat. Negara tidak boleh memungut dari rakyat kecuali pungutan yang tidak melebihi biaya riil untuk mengatur pengelolaan BBM.

Kebijakan liberalisasi migas termasuk pembatasan BBM bersubsidi jelas bertentangan dengan ketentuan syariah itu, karenanya haram dilakukan. Kebijakan itu merupakan kebijakan yang zalim dan merugikan rakyat untuk menyenangkan perusahaan-perusahaan imperialisme asing dan pihak-pihak rakus yang menjarah kekayaan umat. Apalagi, tindakan itu telah membuat negeri ini berada di bawah pengaruh penjajah. Dan hal itu secara syar’i adalah haram. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surat An-Nisa ayat 141 yang artinya, "Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."

Karena itu kebijakan liberalisasi migas dan pembatasan BBM bersubsidi itu harus ditolak dan dihentikan. Berikutnya migas dan SDA lainnya harus segera dikelola dengan benar sesuai tuntutan yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Hanya dengan itulah, migas dan SDA lainnya akan bisa dikelola demi kesejahteraan dan kebaikan umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar